Menjemput Impian

Part 1 

Suara azan subuh sayup terdengar memecah keheningan pagi di pinggiran Ibukota negara tercinta. 

Istriku membangunkanku untuk menjalankan kewajiban salat subuh berjamaah di rumah. Yap. Sejak pandemi memang kami tidak menunaikan ibadah di masjid. Alhamdulillah putri kecilku juga ikut terbangun dan siap dengan mukena yang masih kebesaran. 

Selesai salat berjamaah, istriku sudah siap perang di dapur. Putriku sudah tidur lagi ternyata di pangkuanku saat aku sedang tilawah. Kubopong si cantik ini untuk kubaringkan di atas kasur. Kemudian kulangkahkan kaki ke dapur.

"Dik, aku mau bicara bisa?" tanyaku ketika sampai di dapur.

"Silakan Mas." Jawabnya sambil memotong wortel.

"Kamu tahu Dik, bagaimana keadaan sekarang. Ternyata berimbas juga ke kantorku," kutarik nafas kemudian kubuang dengan kasar," aku tidak tahu bagaimana kita kedepannya."

Kulihat istriku menghentikan kegiatannya. Kemudian dia lanjutkan lagi memotong wortel. 

"Mas tahu kita ada pendapatan lain tatapi itu hanya cukup untuk kebutuhan harian. Untuk listrik, telepon dan uang bulanan buat ibu." Lanjutku.

"Aku mau pinjam uang ke teman tetapi katanya dia ada bunga atau kau carilah pinjaman dik." 

"Aku tidak setuju Mas kalau kamu pinjam ke teman jika ada bunga. Sama saja riba. Dosanya seperti berzina dengan ibu kandung. Nauzubillahmindzalik. Jangan ya. Apalagi pinjam online itu. Sudah banyak korbannya." kata Rani, istriku tercinta.

"Kalau kamu ga bolehin aku pinjam dengan bunga ya sudah pinjam sana, usahakan dapat uang." Ujarku.

Istriku diam. Aku pun melangkah ke ruang tamu. 

Rina, di dapur

"Ya Allah, kenapa aku merasa kalau Mas Rama memaksa dan mengancamku. Astaghfirullah!" 

Air mataku mengalir deras. Kuhentikan kegiatanku. Mengapa aku merasa mas Rama seperti lupa ada Allah. 

Ya Allah aku harus bagaimana. Lalu kuingat ada perhiasan di dalam lemari. Alhamdulillah meskipun sedikit lumayan hasilnya jika dijual.

Kuberikan perhiasan kepada Mas Rama. 

Rama, di ruang tamu.

Sepertinya aku tadi mengancam Rina dengan perkataanku. Astaghfirullah. Menyesal juga sudah kukatakan supaya dia yang pinjam uang mengingat teman istrinya itu banyak.

"Mas."

Aku menoleh ketika Rina memanggilku.

"Mas, ini ada perhiasan yang kamu berikan dulu. Bisa dijual. Lumayan bisa buat modal usaha kecil-kecilan." Rina menyerahkan beberapa perhiasan kepadaku lalu kuterima.

"Dik, maafkan aku ya tadi secara tidak sengaja mengancammu." Sesalku.

"Tidak apa-apa, Mas. Sebelum kamu minta pun sudah kumaafkan." Kata Rina sambil tersenyum.

Kutatap istriku dan kulihat matanya basah meskipun tidak terlihat air mata di sana. Ya Allah aku sudah membuatnya menangis karena perkataanku. Kurengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. 

Siamg harinya.

"Mas, ada telepon!"seru Rina 

"Iya, Dik." Jawabku sambil melangkahkan kaki ke kamar untuk mengambil gawaiku.

"Halo, assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh." salamku.

Lalu aku pun terlibat obrolan dengan teman kuliah yang sudah lama tidak.bersua.

Sepuluh menit kemudian kami sudahi bertegur sapa dan bersilaturahmi secara online. 

"Siapa Mas?" Tanya Rina.

"Hari. Teman kuliahku. Dia sekarang lagi berternak ikan lele. Sejak dia di PHK kemudian membanting stir dengan usaha pembibitan ikan lele."

"Alhamdulillah." sahut Rina.

"Tadi Hari mengatakan hasilnya lumayan karena kebutuhan ikan lele kan sedang naik. Dia menawari aku untuk memasarkan ke pasar atau warung di daerah kita ini. Bagaimana menurutmu dik?"

-Bersambung-







0 komentar